01 November 2011

Proposal Skripsi

PROPSAL SKRIPSI
ANALISIS SEMIOTIK FILM SANG PENCERAH
Makalah ini disusun pada mata kuliah Praktek Penelitian Komunikasi Massa










Disusun Oleh:
Amin Rois
108051000036
KPI VII



JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2011


A.    LATAR BELAKANG  MASALAH
Film dalam arti sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV.[1] Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual dan sifatnya sangat konpleks. Film menjadi sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru.[2]  Film bisa disebut sebagai sinema atau gambar hidup yang mana diartikan sebagai karya seni, bentuk populer dari hiburan, juga produksi industri atau barang bisnis. Film sebagai karya seni lahir dari proses kreatifitas yang menuntut kebebasan berkreativitas.[3]
Film merupakan hasil karya yang sangat unik dan menarik, karena menuangkan gagasan dalam bentuk gambar hidup, dan disajikan sebagai hiburan yang layak dinikmati oleh masyarakat. Tetapi dalam pembuatan film harus memiliki daya tarik tersendiri, sehingga pesan moral yang akan disampaikan bisa ditangkap oleh penonton.
Dalam pembuatan film tidak mudah dan tidak sesingkat yang kita tonton, membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang diperlukan proses pemikiran  dan proses teknik. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap. Proses teknik berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan ide, gagasan menjadi sebuah film yang siap ditonton. Pencarian ide atau gagasan ini dapat berasal dari mana saja, seperti, novel, cerpen, puisi, dongeng, bahkan dari sejarah ataupun cerita nyata. Salah satu film yang diangkat dari sejarah adalah film Sang Pencerah. Film ini didasarkan kisah pendiri organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Sang Pencerah adalah judul film yang mengangkat kisah Pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan. Sebuah film yang mengenalkan kita pada sosok yang sudah berkontribusi sangat besar bagi di Indonesia, baik dalam pendidikan, dakwah, maupun budaya. Kisah berfokus pada sejarah hidup pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, sejak lahir hingga mendirikan Muhammadiyah pada 12 November 1912. Ia, beserta 5 muridnya (Sudjak, Fachrudin, Hisyam, Syarkawi, Abdul Ghani)  berada pada masa di mana
praktik-praktik ritual melenceng dari kemurnian ajaran Islam. Atau bagaimana, kala itu, sebuah sekolah Islam dianggap haram memakai bangku dan meja dengan alasan itu semua buatan kafir.
Film ini dikemas begitu menarik, alur cerita yang maju, mundur, serta pengisahan konflik-konflik membuat para penonton semakin mengenal sejarah dan tercerahkan, membuat film ini semakin bagus dan berkualitas. Namun sebuah film yang bagus dan berkualitas bukan hanya dilihat dari alur ceritanya saja tetapi harus mempunyai pesan moral maupun dakwah yang ingin disampaikan kepada penonton. Melalui tanda-tanda, simbol, dan ikon yang terdapat di dalamnya. Film ini layak untuk ditonton, selain karena sinematografisnya bagus, penonton akan mendapat pelajaran berharga dari film tersebut.
Semisal di adegan Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan sebelum ke Mekkah) yang mengambil sesaji yang ditaruh dibawah pohon keramat. Secara visual Darwis mengambil sesaji tersebut dan membagikannya kepada masyarakat miskin disekitar masjid. Dalam hal ini sebenarnya dia selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru tidak nampak. Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka.
Kadang kala, pesan moral pada sebuah film kurang diperhatikan oleh penonton. Banyak di antara mereka hanya menikmati alur cerita dan visualisasi film tersebut. Jika diperhatikan secara seksama dalam suatu film dapat menjadi inspirator bagi penontonnya. Mereka dapat mengambil hikmah, serta pelajaran berharga dari film tersebut, yang dapat di realisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam film Sang Pencerah banyak pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton. Dengan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai makna simbolis mengenai pesan moral yang ingin disampaikan pada film Sang Pencerah.
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian sekaligus dijadikan sebagai judul skipsi yaitu: “ANALISI SEMIOTIK FILM SANG PENCERAH“.

B.      BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
1.      Batasan Masalah
Agar penulisan proposal skripsi ini lebih fokus, maka penulis sengaja membatasi pengambilan adegan-adegan dalam film Sang Pencerah hanya yang dianggap memiliki pesan dakwah, moral dan symbol yang mewakili bagaimana Ahmad Dahlan menghadapi masyarakat di Kauman, Yogyakarta dan sekitarnya.
2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana makna (petanda) denotasi dalam film Sang Pencerah (penanda)?
b.      Bagaimana makna (petanda) konotasi dalam film Sang Pencerah (penanda)?
c.       Bagaimana makna (petanda) mitos dalam film Sang Pencerah (penanda)?

C.    TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna (petanda) secara denotasi, konotasi, dan mitos yang terdapat dalam film Sang Pencerah (penanda). Serta mengetahui pesan yang terdapat dalam film Sang Pencerah.

D.    MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang dihasilkan dengan adanya penelitian ini adalah: 
1.      Manfaat Akademisi
Penelitian ini diharapkan bisa memperkaya khasanah ilmu komunikasi massa melalui film untuk fakultas Ilmu Komunikasi khusunya Fakultas Ilmu Dakwah Dan Komunikasi  jurusan komunikasi penyiaran Islam.

2.      Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan konstribusi positif bagi para tim produksi, sutradara, dan akademisi yang mengambil bidang komunikasi dan dakwah, khususnya yang berminat di dunia perfilman

E.     METODOLOGI PENELITIAN
1.      Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat Deskriptif analisis, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secara objektif, dengan menggambarkan pesan-pesan dalam film Sang Pencerah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif  yang Kemudian penelitian ini menggunakan model Roland Barthes, yang berfokus pada gagasan tentang gagasan signifikasi dua tahap (two order of signification). Yang mana signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifer (penanda) dan signinified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.[4]

2.      Objek Penelitian dan Subjek Penelitian
Adapun objek penelitian ini ialah film Sang Pencerah. Sedangkan subjeknya adalah potongan gambar atau visual yang terdapat dalam film Sang Pencerah yang berkaitan dengan rumusan masalah.

3.      Sumber Data
Sumber data terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Data primer yakni data yang diperoleh dari rekaman video film Sang Pencerah, yang akan dipilih gambar dari adegan-adegan yang berkaitan dengan penelitian.
b.      Data sekunder yakni data yang diperoleh dari literatur yang mendukung data primer, seperti kamus, internet, artikel, koran, buku-buku yang berhubungan dengan penelitian, catatan kuliah dan sebagainya.

4.      Tahapan Penelitian
Tahap yang penelitian yang dipakai ada tiga yaitu:
a.       Tahap Pengumpulan Data
1)      Observasi adalah sebagai kegiatan mengamati secara langsung tanpa mediator sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut[5]. Secara langsung peneliti akan menonton dan mengamati dialog- dialog peradegan dalam film Sang Pencerah. Kemudian mencatat, memilih serta menganalisis sesuai sesuai dengan model penelitian yang digunakan.
2)      Studi komunikasi atau document research, yakni penulis mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai literatur yang sesuai dengan materi penelitian untuk dijadikan bahan argumentasi, seperti DVD film Sang Pencerah, arsip, majalah, surat kabar, buku, catatan perkulihan, internet dan lain sebaginya.
b.      Tahap Pengolahan Data
1)      Tabel ?
2)      Gambar ?
3)      Teknik Penulisan adapun dalam penulisan skripsi ini, penulisan berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Desertasi) yang ditulis oleh: Hamid Nasuhi, dkk, yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
c.       Tahap Analisa Data; Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklarifikasikan sesuai pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah. Kemudian, dilakukan analisi data dengan menggunakan teknik analisis semiotik Roland Barthes. Ia mengembangkan semiotik menjadi dua, yakni denotasi dan konotasi yang menghasilkan tanda secara objektif untuk memahami makna tersirat dalam film Sang Pencerah yang menjadi objek dalam penelitian ini.

F.     TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang menginspirasi peneliti dari skripsi-skripsi terdahulu di antaranya:
1.      “Analisis semiotik film A Mighty Heart“, oleh Risky Akmalsyah, tahun 2010, Jururan Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.      “Pesan Moral Dalam Film Memoirs Of A Geisha“, oleh Novi Farida Priyadi, 2007, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP “Veteran“ Yogyakarta.
3.      “Analisis Semiotika Film Freedoom Writers“, oleh Dahliana Syahri, 2011, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.      “Analisis Semiotik Pesan Dakwah Dalam Poster Narkotika Badan Narkotika Nasional (BBN)“, oleh Afaf Sholihin, 2010, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.      “Analisis Semiotik Foto Daily Life Stories Pada World Press Photo 2009“, oleh Aida Islamie, 2010, Konsentrasi Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kelima Skripsi di atas memiliki objek berbeda. ketiga skripsi di posisi atas menggunakan objek film, dan yang ketiga menggunakan objek poster, serta terakhir menggunakan objek foto. Masing-masing menggunakan teknik analisis Roland Barthes.
Film ini sengaja dipilih penulis untuk diteliti karena menurut penulis banyak pesan moral dan dakwah yang terdapat dalam film ini. Salah satunya membiasakan  menghargai orang lain atau toleransi kepada sesama meskipun non-Islam. Hal tersebut mengajarkan pluralisme yang berarti Islam yang rahmatan lil alamin diamalkan. Seperti yang kita hadapi saat ini dimanapun tempatnya Islam seolah sudah lupa akan makna rahmatan lil alamin, dan akhirnya radikalisme membuat dunia ini tidak berwarna dan tidak bisa saling memberikan kedamaian ataupu ketenangan dalam hati. Padahal surga yang sesungguhnya adalah dalam kedamaian hati masing-masing orang. Harapan penulis semoga penelitian ini bisa menambah referensi penelitian film, khususnya film Internasional.

G.    KERANGKA TEORI
1.      Definisi Film
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah-satu media komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan sistem lainnya. Film berupa media sejenis plastik yang dilapisi emulsi dan sangat peka terhadap cahaya yang telah diproses sehingga menimbulkan atau menghasilkan gambar ( bergerak ) pada layar yang dibuat dengan tujuan tertentu untuk ditonton. [6]
Proses pembuatan film sendiri membutuhkan waktu yang sangat panjang yakni masa pra produksi, produksi sampai paska produksi.

2.      Sejarah Perkembangan Film Dunia
Dilihat dari sejarah, penemuan film sebenarnya berlangsung cukup panjang. Ini disebabkan karena film melibatkan masalah-masalah teknis yang cukup rumit, seperti masalah optik, lensa, kimia, proyektor, kamera, roll film bahkan sampai pada masalah psikologi. Usaha untuk mempelajari bagaimana gambar dipantulkan lewat cahaya, konon telah dilakukan sekitar 600 tahun sebelum masehi. Perkembangan film baru keliatan setelah abad ke-18 melalui percobaan kombinasi cahaya lampu dengan kaca lensa padat, tetapi belum berupa gambar hidup yang bisa bergerak.
Setelah Louis Dagurre bekerjasama dengan Joseph Niepce maka perkembangan kearah seni fofotografi terus dilanjutkan. Setelah Niepce meninggal dunia, kemudian dilanjutkan oleh Dagurre dan George Easman dalam bentuk Celluloid. Uji coba untuk menggerakan gambar berhasil dilakukan dengan memakai selinder yang nantinya berkembang menjadi projektor. Joseph Plateau adalah seorang ilmuan yang telah banyak memberikan perhatian untuk mempelajari rahasia gambar hidup dengan seksama, terutama dalam hal kecepatan, waktu dan pewarna.
Penyempurnaan baru dicapai lewat kamera oleh asisten ahli listrik terkenal Thomas Alva Edison yang bernam William Dickson pada tahun 1895. Setelah itu barulah orang amerika berhasil membuat film bisu yang berdurasi 25 menit, diantaranya film A Trip to the Moon (1902), Life of an America Fireman (1903) dan The Great Train Robbery (1903).  Kemudian perusahaan film Warner Brothers dengan bekerjasama dengan Amerika Telephon dan Telegraph berusaha mempelajari bagaimana cara memindahkan suara yang ada dalam telepon ke dalam film. Usaha ini berhasil pada tahun 1928 melalui film The Jazz Singer. Masa keemasan film berlangsung cukup lama, barulah televisi muncul sebagai media hiburan.[7]

3.      Sejarah Perkembangan Film Indonesia
Di Indonesia, sejarah ‘gambar idoep’ muncul lima tahun berikutnya. Yaitu pada 1900, dilihat dari sejumlah iklan di surat kabar masa itu. De Nederlandshe Bioscope Maatschappij memasang iklan di surat kabar  Bintang Betawi mengabarkan dalam beberapa hari lagi akan diadakan pertunjukan  gambar idoep . Di surat kabar terbitan yang sama pada Selasa 4 Desember 1900 itu, ada iklan berbunyi ”… besok Rebo 5 Desember Pertunjukan Besar yang Pertama di dalam satu rumah di Tanah Abang Kebondjae  moelain pukul 7 malam …”
Bioskop Kebonjahe yang kemudian diberi nama The Roijal Bioscope mulai dioperasikan dengan harga tiket dua gulden untuk kelas 1, satu gulden kelas 2, dan 50 sen kelas 3. Pada masa itu penonton pria dan wanita dipisah. Pertunjukan dengan pembagian kelas-kelas yang kini sudah dihilangkan bioskop kelompok 21, mengikuti pola pertunjukan Komedi Stamboel dan Opera Melayu.
Kelas termurah duduk di bangku papan yang berada di deret depan (stalles), tepat di belakang orkes. Penonton juga diberi  libretto berisi ringkasan cerita film yang akan diputar.
Setelah pemutaran perdananya, Bioskop Kebonjahe segera menjadi terkenal. Namun demikian belum bisa mengalahkan popularitas pertunjukan lain yang sedang digemari masyarakat: Komedi Stamboel (sering disebut Bangsawan atau Opera Melayu). Keduanya adalah pertunjukan sandiwara keliling yang diselenggarakan dalam tenda kain besar. Penontonnya bukan hanya pribumi, tetapi dari semua golongan.
Bahkan film-film  tempo doeloe itu, dalam pemilihan  repertoire-nya juga banyak mengambil cerita dari panggung pertunjukan ini. Mulai dari hikayat-hikayat, seperti  Djoela-Djoeli Bintang Tiga , sampai cerita-cerita realistis seperti  Nyai Dasima.
Di atas hanyalah sepenggal cerita dunia film Indonesia pada tahun-tahun awal  gambar idope di negeri ini. Misbah Yusa Biran, kelahiran Rangkasbitung, Banten, 11 September 1933, telah berkecimpung dalam dunia film sejak 1954. Pada 1967, ia terpilih sebagai sutradara terbaik untuk filmnya Di Balik Cahaya Gemerlapan. Sejak 1971, ia mulai merintis berdirinya lembaga arsip film, Sinematek Indonesia, dan mulai melakukan penelitian sejarah film Indonesia dan penulisan skenario.
Sinematek Indonesia berdiri 1975, sebagai arsip film pertama di Asia Timur. Kini, suami dari artis Hj Nani Wijaya ini sedang menyiapkan penulisan sejarah film 1950-1967, setelah meluncurkan Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa , 6 November 2009.
Dalam pengantarnya, penerbit Komunitas Bambu yang menerbitkan buku ini menulis: Buku ini menjadi istimewa bukan saja lantaran paling luas menguraikan sejarah film periode 1900-1950, tetapi juga ditulis oleh Misbach Yusa Biran yang sohor sebagai ‘ensiklopedi berjalan’ film Indonesia.[8]

4.      Pengertian Semiotika
Secara etimologis istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti “tanda“. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semeion berasal tamapaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau aklepiadik denagn perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.
Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda[9]. Sedangakan  ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.[10]

5.      Teori Semiotik Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Teori Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Kata konotasi berasal dari bahasa latin connotare, ‘‘ menjadi makna“ dan mengarah pada tanda-tanda kultural yang terpisah/ bebeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional.
Roland Barthes, semiotikus terkemuka dari Prancis dalam bukunya Mythologies (1972) memaparkan konotasi kultural dari berbagai aspek kehidupan keseharian orang Prancis, seperti steak dan frites, deterjen, mobil ciotron dan gulat. Menurutnya, tujuannya untuk membawakan dunia tentang “apa-yang terjadi-tanpa-mengatakan“ dan menunjukan konotasi dunia tersebut dan secara lebih luas basis idiologinya.
Sedangkan denotasi, di pihak lain, menunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari kata-kata dan fenomena yang lain. Sebagai contoh Boneka Barbie menunjukan boneka mainan, yang dipasarkan peratama kali pada tahun 1959, dengan tinggi 11,5 inci, dengan ukuran dada 5,25 inci, tinggi pinggang 3 inci dan pinggul 4,25 inci. Sementara konotasi dari barbie, secara kontras penuh kontroversi. [11]
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.[12]

H.    SISTEMATIKA PENULISAN
1.      BAB I             PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

2.      BAB II            LANDASAN TEORI
Dalam bab ini ini berisikan tentang tinjauan umum tentang film, sejarah perkembangan film, kemudian terdapat pula tinjauan umum tentang semiotik, konsep semiotika Roland Barthes.

3.      BAB III          GAMBARAN UMUM FILM “SANG PENCERAH
Pada bab ini pembahasan spesial  di balik layar film Sang Pencerah, seperti profile sutradara, para pemain, sinopsis film Sang Pencerah.

4.      BAB IV          TEMUAN DAN ANALISIS DATA LAPANGAN
Membahas konsep semiotika Roland Barthes mengenai makna (pertanda) denotasi, konotasi dan mitos dalam film Sang Pencerah (penanda).

5.      BAB V            PENUTUP
Penulis mengakhiri skripsi ini dengan memberikan kesimpulan yang berfungsi menjadi jawaban umum yang terdapat pada bab 1, serta diikuti saran penulis.

I.       DAFTAR PUSTAKA
Artikel, di akses Rabu, 19 Oktober 2011 pukul  21.15 WIB dari http://www.journal.unair.ac.id/PDF/Tinjauan.Teoritik.tentang.Semiotik
Artikel, di akses Selasa, 19 Oktober 2011 pukul  23.00 WIB dari http://www.scribd.com/doc/32637180/Definisi-Film
Artikel, di akses Senin, 17 Oktober 2011 pukul  19.40 WIB dari, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, http://indonesiabuku.com/?p=2537
Berger, Arthur Asa. Media Analysis Techniques, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999).
Cangara, Hafied. Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2008.
Suryapati, Akhlis. Hari Film Nasional Tinjauan dan Restrospeksi. Jakarta: Panitia Hari Film Nasional ke-60 Direktorat Perfilman 2010.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisa Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.  2006.
Soehartono, Irawan. Metode penelitian Sosil, Suatu teknik penelitian bidang kesejahtraan sosial dan ilmu sosial lainnya.  Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2004.


[1] Prof. Dr. H. Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008) hal. 136.
[2] Akhlis Suryapati, Hari Film Nasional tinjauan dan Restrospeksi, ( Jakarta: Panitia hari Film Nasional ke-60 Direktorat perfilman tahun 2010, 2010) hal.26.
[3]Ibid, hal. 40
[4] Drs. Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisa Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal.127-128.
[5] Irawan, Soehartono, Metode penelitian Sosil, Suatu teknik penelitian bidang kesejahtraan sosial dan ilmu sosial lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hal.106.
[6] Artikel, di akses Selasa, 19 Oktober 2011 pukul  23.00 WIB dari http://www.scribd.com/doc/32637180/Definisi-Film
[7] Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc, Pengantar Ilmu Komunikasi, (PT RajaGrafindo Persada, Jakarta:2008) hal.137-138.

[8]Artikel, di akses Senin, 17 Oktober 2011 pukul  19.40 WIB dari, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, http://indonesiabuku.com/?p=2537

[9]Drs. Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisa Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hal.95.
[10] Artikel, di akses Rabu, 19 Oktober 2011 pukul  21.15 WIB dari http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotik.pdf
[11] Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999), hal.15.
[12] “Teori semiotik“ di akses Rabu, 19 Oktober 2011 pukul  21.15 WIB dari
http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar